MediaSuaraSorak.com – Sebagai pengajar, saya sering stres sendiri dengan mahasiswa saya. Kalau sudah urusan membaca, malasnya minta ampun. Siapapun tentu tahu, membaca buku teks yang tebal-tebal dan berbahasa asing bukan hal mudah, apalagi bisa dinikmati. Tetapi, sudah saya berikan sadurannya pun, mereka masih tetap enggan membaca.
Soal minat terhadap literasi ini pun dibahas dalam pertemuan penulis dan editor Penerbit Buku Kompas, Kamis (19/05/2016). Satu hal yang langsung terasa “jleb” bagi saya adalah ketika Witdarmono, penggagas koran anak-anak “BERANI”, mengatakan bahwa minat membaca itu dimulai dari kecil, dan diawali dari rumah—artinya, dari orangtua.
Jadi, kalau orangtua tidak biasa membaca dalam kehidupan sehari-hari, janganlah berharap anak-anaknya akan senang membaca.
Seorang kawan bercerita mengenai temannya yang berkeluh kesah, “Kok anak saya enggak ada yang senang membaca, ya?”
Si kawan bertanya, “Di rumahmu langganan koran, nggak?” Ketika dijawab tidak, ia membalas, “Ya tidak perlu heran kalau begitu.” Ini karena koran datang setiap hari dan “memaksa” kita untuk membaca, bukan?
Dimulai dari Rumah
Saya mengingat-ingat kembali bagaimana cara saya dibesarkan dalam keasyikan membaca. Saya membaca novel sejak kelas 1 SD. Mulai dari serial Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Mallory Tower, St. Clare, dan masih banyak lagi.
Setiap bulan selalu membeli buku, dan liburan sekolah bagaikan surga karena saya boleh membeli hingga 6 buku!
Sejak kecil saya terbiasa dengan novel—yang isinya hanya tulisan, kadang tidak ada gambarnya sama sekali—bukan jenis komik. Dan sampai sekarang, saya tidak pernah suka membaca komik, sementara novel-novel tebal buat saya tampak semakin seksi saja.
Darimana kebiasaan membaca itu? Baru-baru ini, Mama mengirimkan foto saya masih kecil, mungkin kurang dari 3 tahun dan jelas belum bisa membaca. Foto itu menggambarkan saya duduk di teras rumah—dengan kursi kecil—sambil membaca…,Harian Kompas.
Mungkin memang tidak benar-benar membaca, hanya sekadar mejeng saja. Ganjil rasanya melihat anak sekecil itu memegangHarian Kompas.
Di masa kecil, saya berlangganan Majalah Bobo. Saya kerap mengumpulkan sisipan cerita di bagian tengah Bobo, lalu saya jilid. Salah satunya adalah cerita petualangan Pak Janggut dan buntelan ajaibnya.
Langganan koran dan majalah adalah bagian dari keseharian di rumah. Setelah lewat masanya Bobo, saya berlangganan majalah HAI.
Kalau majalah dan koran tidak dikumpulkan, buku adalah koleksi. Jumlah buku saya sudah lebih dari 1.000 judul dan baru-baru ini saya “harus” membuat lemari yang benar-benar layak untuk menyimpan koleksi berharga itu.
Membaca vs. Menonton
Kebanyakan orang lebih suka menonton daripada membaca. Setiap mengajar pelatihan menulis saya selalu bertanya, berapa orang yang senang membaca dan yang senang menonton. Kebanyakan memilih menonton daripada membaca. Menurut saya, itu salah satu sebab mereka merasa kesulitan untuk menulis.
Sekarang, ada “gangguan” lain lagi, yaitu gawai. Masalahnya, gawai kerap diasosiasikan dengan game atau video. Keponakan saya yang belum berusia 3 tahun sudah mahir memilih video anak-anak dari YouTube. Gawai memang ampuh membuat anak-anak anteng.
Saya tidak menyalahkan, tetapi juga heran mengapa gawai tidak dibuat menjadi sarana untuk senang membaca. Jadi kita tidak perlu memusuhi gawai dan menganggapnya sebagai gangguan terhadap minat literasi. Asalkan kita mengenalkan gawai dengan cara yang tepat, dengan fungsi yang sudah diarahkan, saya yakin kita bisa mengambil manfaat dari kemajuan teknologi ini.
Keberadaan e-book, misalnya. Terlepas dari preferensi apakah lebih suka membaca di layar atau kertas, e-book sangat bermanfaat untuk meningkatkan minat baca. Saya bisa menyimpan berbagai e-book dalam satu alat, lalu membacanya di manapun ketika dibutuhkan.
Biasanya kalau memang sudah persiapan untuk menunggu—misalnya di bank atau antre dokter—saya sudah membawa bacaan. Tetapi untuk kegiatan menunggu yang tidak direncanakan, simpanan e-book saya di ponsel adalah solusi.
Baru-baru ini saya mengunduh iJakarta, aplikasi Perpustakaan Digital Jakarta milik Badan Perpustakaan dan Arsip Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Meski masih banyak penyesuaian dan perbaikan yang perlu dilakukan, saya melihatnya dengan lebih positif: semakin mudah kita mengakses bacaan. Tinggal bagaimana kita memanfaatkannya saja.